Powered by Blogger.

Antara Ahok, Pancasila dan Islam

Sistem dan kondisi masyarakat menentukan apakah suatu negeri dipimpin oleh pemimpin yang baik ataukah dipimpin buruk?
Berikut adalah artikel yang saya kutip dari www. hidayatullah.com sebelum isu mengenai pemimpin non muslim ramai diperbincangkan. Saya kira tulisan penulis cukup bagus, dan saya share di halaman blog saya ini, supaya makin populer.
Apabila anda mengunjungi halaman asli tulisan berikut anda akan mendapati bahwa tulisan tersebut diunggah pada awal-awal ahok menjabat sebagai gubernur DKI, dan menariknya tidak ada kutipan al-maidah ayat 51.

BEBERAPA waktu terakhir ini, warga Indonesia, disuguhi pemberitaan mengenai sosok Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Tak hanya warga Jakarta, warga di belahan provinsi lain pun ikut terbawa perhatiannya mengenai sosok tersebut, tentunya ada yang pro dan ada yang kontra, terlebih sosoknya yang muncul dari kalangan minoritas (Tionghoa) kemudian menjadi pemimpin untuk Ibu Kota Jakarta menjadi “nilai tambah” untuk diperhatikan.
Ahok bukanlah pemimpin DKI Jakarta non-Muslim yang pertama, karena sebelumnya ada Henk Ngantung, Gubernur DKI Jakarta yang diangkat langsung oleh Presiden Soekarno. Tidak hanya beragama non-Muslim, pria keturunan Manado yang lahir di Bogor 1 Maret 1921 itu bahkan dituduh bagian dari PKI, meskipun tidak pernah dibuktikan oleh pengadilan (lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/Henk_Ngantung).
Tapi meskipun dia non-Muslim, ternyata respon masyarakat ketika itu tidak sekeras kepada Ahok saa ini. Kala itu, Henk, sebagaimana pengakuan istrinya, diterima dengan hangat oleh berbagai kalangan masyarakat, meskipun tetap saja, tidak layak non-Muslim menjadi pemimpin bagi umat Islam.
Ahok menjadi kontroversial setelah berbagai pernyataannya dan statement nya dinilai terus-menerus mengecewakan umat Islam.
Ia pernah melarang Sekolah Dasar (SD) di DKI Jakarta mengadakan perayaan sembelih hewan Qurban. Ini adalah awal dia memicu persoalan, sementara umat menilai, perayaan tahun baru yang sarat akan “hura-hura” justru dizinkan Pemda DKI.
Ahok juga diduga mempersulit perizinan acara “Dzikir Akbar Majelis Rasulullah” di Jakarta. Isu ini kemudian terus menggelinding di jejaring sosial dan kelompok-kelompok pengajian. Tentu saja, ini semakin menambah kecaman masyarakat padanya. Masyarakat bisa membedakan, bagaimana hura-hura dalam perayaan “kemenangan” Jokowi yang mendapat izin begitu mudah, padahal banyak catatan buruk di akhir acara tersebut.
Umat Islam dan Ahok
Kesalahan tentu tidak hanya cukup diarahkan kepada Ahok semata. Pengalaman ini nampaknya menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam, khususnya para elit politik yang sedang memegang kekuasaan. Karena dari merekalah Ahok lahir dan bisa naik ke puncak tertinggi jabatan di DKI Jakarta.
Salah satu bunyi sila kedua Pancasila adalah “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.”, kalau tidak melihat salah satu pengamalann Kata “Adil” dan “Beradab” merupakan ajaran yang diambil dari Islam.
Perintah untuk adil kepada siapa pun banyak tertulis dalam al-Quran maupun Hadits Rasulullah. Dalam Al-Quran Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS: Al-Maidah Ayat: 8]
Dalam hadits, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya mereka-mereka yang berbuat adil di sisi Allah Ta’ala, kelak mereka akan berada di atas mimbar dari cahaya, dari tangan kanan Allah ArRahman ‘Azza wa Jalla. Dan kedua tangan Allah Ta’ala adalah kanan. Mereka adalah orang-orang yang adil dalam menghukumi sesuatu bahkan terhadap keluarga mereka sendiri, juga terhadap orang-orang yang mereka pimpin.” (HR. Muslim).
Salah satu asas hukum modern adalah “equality before the law/persamaan di depan hukum”, yang kemudian populer dalam hukum positif di Indonesia (pasal 27 UUD 1945) tidak bertentangan dengan Islam, bahkan salah satu prinsip hukum yang diajarkan oleh Islam.
Rasulullah pernah berkata bahwa beliau akan memotong tangan Fatimah jika putrinya kedapatan mencuri. Beliau juga mengingatkan bahwa binasanya kaum terdahulu karena hukum hanya tajam bagi rakyat jelata, tapi tumpul bagi kaum bangsawan.
Begitu juga membangun “manusia yang beradab” merupakan ajaran mendasar Islam. Jika “manusia beradab” itu diartikan memiliki akhlak yang baik, maka akhlak yang baik merupakan salah satu tujuan diutusnya Nabi Muhammad.
“Tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak mulia”. Dan jika “manusia beradab” itu artinya berpendidikan, maka Islam pun mengajarkan agar pemeluknya memiliki pendidikan yang tinggi, dengan penjelasan bahwa pendidikan (ilmu) menjadi faktor utama kebahagiaan dunia dan akhirat, “Siapa yang mengaharapkan dunia hendaknya dengan ilmu, siapa yang mengharapkan akhirat hendaknya dengan ilmu, siapa yang mengharapkan keduanya hendaknya dengan ilmu,” demikian bunti hadits Nabi.
Butir pengamalan Pancasila sila kedua “Kemanusiaan yang Beradab” yang ditetapkan dalam TAP MPR no I tahun 2003 yaitu: “Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya” dapat diartikan bahwa salah satu persamaan hak tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan dan sebagainya adalah hak untuk memimpin dan dipimpin.
Hanya saja, Ahok yang merupakan “hasil” dari butir pengamalan Pancasila tersebut nampaknya bertentangan dengan ajaran agama Islam, di mana umatnya diharamkan memilih pemimpin mereka yang bukan dari bagian dari mereka. Ayat-ayat mengenai hal tersebut sangat banyak.
Sebagai contohnya adalah firman Allah:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” (QS: Ali Imran: 28)
“(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS: an-Nisa: 139)
Jika kita seorang Muslim yang benar, taat Allah dan Rasulnya, untuk memahami ayat tersebut, tidak diperlukan berbagai macam metode penafsiran. Sebab ayat tersebut sudah sangat sangat jelas (sharih/eksplisit) menyatakan haramnya umat Islam memililih pemimpin mereka yang bukan bagian dari mereka.
Imam Thabari ketika menafsirkan surat Ali Imran: 28 di atas mengatakan: “Demikianlah Allah melarang orang-orang beriman untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin.”
Demokrasi selalu berprinsip keputusan berdasarkan suara terbanyak (voting). Faktanya, banyak juga yang memaksakan diri untuk berkuasa/menguasai dari kaum mayoritas. Berapa kali Amerika Serikat (AS) terlibat jauh mengurusi negara ketika negara itu menginginkan Islam menjadi prinsip utama dan landasan negaranya? Justru di saat ada negara yang menginginkan Islam menjadi landasan hidup/dasar negara, justru di situ Amerika menggagalkannya. Ketika Aljazair (1991) dan HAMAS (2007) meraih suara mayoritas Pemulu, justru Amerita dan Barat menggalkannya.
Di sisi lain, fenomena Ahok muncul karena kondisi masyarakat Indonesia yang belum serius memperhatikan pentingnya kepemimpinan islami hadir di tengah masyarakat mereka.
Kesejahteraan dan kesejahteraan selalu menjadi jargon utama setiap kampanye pada setiap perlehatan Pemilu/Pilkada 5 tahunan, lupa memperhatikan identitas calon pemimpin, sehingga munculah adagium “tidak penting identitas pemimpin, yang penting mampu mensejahterakan rakyat”. Padahal, identitas calon pemimpin dan kemampuannya mengatur seuatu wilayah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Sebuah riwayat mengatakan, “Kamaa takuunuu yuwallaa ‘alaykum” (Sebagaimana kondisi kalian, maka kalian pun akan dipimpin oleh orang yang memiliki kondisi sama seperti kalian).
Memang ini tidak mutlak, tapi masyarakat yang jauh sebelum kita memberikan gambaran bahwa pemimpin mereka kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi mereka, kalau masyarakatnya baik, maka akan lahir pemimpin yang baik, tapi jika masyarakatnya kurang baik, maka akan lahir pemimpin yang tidak jauh dengan kondisi mereka.
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Dan perhatikanlah hikmah di mana Allah menjadikan pemimpin suatu negeri yang sesuai dengan kondisi rakyatnya, bahkan segala tindakannya sesuai dengan tingkah laku mereka. Jika mereka istiqamah dalam kebaikan, maka pemimpin mereka pun akan istiqamah, jika mereka bersikap adil, maka dia pun akan adil pada mereka, jika mereka dzalim, maka dia pun akan dzalim pada mereka. Jika tipu menipu dan makar tumbuh di tengah-tengah mereka, maka pemimpin mereka pun akan demikian. Jika mereka menghilangkan hak-hak Allah, maka Allah pun akan karuniakan pada mereka pemimpin yang melupakan hak-hak Allah, bahkan hak-hak mereka pula.” (Dalam Miftah Daar Sa’adah 1/253).
Sesungguhnya, sistem dan kondisi masyarakat akan sangat menentukan apakah suatu negeri akan dipimpin oleh pemimpin yang baik ataukah dipimpin oleh pemimpin yang sebaliknya.
Mari kita tunggu ada apa dengan nasib bangsa ke depan.*
Penulis adalah peminat masalah sosial

Bannerad

Artikel Terpopuler

Tags

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani