Menyoal Pemberantasan Teroris
19 December 2016
.
Akhir-akhir ini
ada perspektif publik yang berubah dalam menyikapi terorisme.
Bila sebelumnya selalu mengamini setiap nalar yang dibangun state,
akhir-akhir ini publik mencoba menggugat nalar tersebut.
Gugatan publik sangat rasional.
Pertama,
anggaran pemberantasan teroris termasuk cukup besar.
Tahun 2014 saja sebesar Rp 44 triliun.
Pada APBNP 2016, Densus 88 mendapat tambahan dana Rp 1,9 triliun.
Kedua,
terlalu seringnya
kepolisian melanggar hak asasi manusia atas mereka yang diduga teroris.
Main tembak dan bunuh tanpa melalui proses mengadilan
seakan menjadi kelaziman dalam penanganan kasus atas terduga teroris.
Dari data yang sempat beredar di media,
sedikitnya ada 121 terduga teroris tewas tanpa lewat proses hukum.
Ketiga,
hampir setiap kasus "bom teroris" menyisakan kejanggalan
yang mengundang kritik atau setidaknya tanda tanya publik.
Misalnya, terlalu seringnya ditemukan kartu identitas, KTP, atau paspor.
Anehnya, selalu saja dalam KTP atau paspor itu tertulis beragama Islam.
Seolah ingin membangun nalar bahwa teroris pasti Muslim.
Modus ini tak hanya terjadi di Indonesia,
tapi juga dalam pemberantasan terorisme global.
Saat terjadi "bom Paris", ditemukan paspor yang masih dalam kondisi utuh
tanpa rusak sedikit pun.
Padahal, semua benda di sekelilingnya hancur dan hangus berantakan.
Secara nalar,
rasanya tak mungkin ada teroris jihadis yang mau identitasnya diketahui.
Dalam kasus "bom ricecooker" juga ditemukan KTP.
Janggalnya,
dalam KTP tersebut terlihat foto pelaku perempuan tak mengenakan jilbab.
Kalau pelakunya teroris jihadis,
rasanya tak mungkin mau membiarkan auratnya terbuka meski hanya di KTP.
Gugatan publik ini sebenarnya sudah mulai terasa saat mencuat kasus Siyono
yang meninggal secara tidak wajar di tangan Densus 88.
Kasus ini mendapat gugatan banyak pihak.
Muhammadiyah sampai menurunkan tim forensik mengusut kematian Siyono.
Hasilnya, kematian Siyono diyakini tidak wajar,
ditemukan banyak tanda kekerasan pada tubuhnya dari kepala hingga kaki.
Tim forensik tidak menemukan adanya perlawanan dari Siyono
seperti hasil pemeriksaan Densus 88.
Selain kejanggalan yang kerap terjadi,
juga patut dipertanyakan adalah nalar state dalam pemberantasan terorisme.
Ada dua nalar yang tak logis yang terus dikampanyekan ke masyarakat.
Pertama,
pelaku teroris adalah penganut radikalisme, fundamentalisme, dan ekstremisme.
Mereka hendak mengubah Indonesia menjadi negara Islam atau khilafah,
memandang demokrasi sebagai sistem kufur.
Mereka juga menyebut pemerintah sebagai tagut.
Kalau nalar yang dibangun demikian,
mestinya sasaran teroris adalah simbol-simbol state
dan perlawanannya bersifat vertikal, bukan horizontal.
Tapi, kita tengok, korban "bom teroris" selama ini sama sekali tak menggambarkan perlawanan vertikal, tak menggambarkan cara kerja teroris yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara Islam, menganggap pemimpin sebagai tagut.
Sebab, yang menjadi sasaran adalah orang yang tengah rekreasi di Bali.
Masjid, mushala, gereja, hotel, dan mal menjadi sasaran.
Bahkan, belum lama ini anak-anak di Samarinda juga menjadi korban.
Kerja pelaku "bom teroris" ini tentu tak nyambung dengan nalar state
dan patut dipertanyakan.
Apakah benar kerja teroris jihadis itu menghendaki berdirinya negara Islam, menerapkan khilafah, menganggap pemerintah sebagai tagut.
Atau, ini sekadar propaganda murahan berkedok terorisme
dengan target menyudutkan Islam,
sebagaimana kerap dilakukan kalangan Islamofobia
yang bertebaran di mana-mana, termasuk di Istana, jajaran kepolisian, dan militer.
Kerja-kerja teroris model ini sebenarnya masih menggunakan model lama. Setidaknya ada dua model yang sama.
Pertama, dari sisi pelaku selalu disematkan kepada orang Islam atau kelompok yang identik dengan Islam.
Kedua, sasaran korban peledakan bom selalu ruang publik, bukan institusi vital milik negara.
Publik tentu ingat pembajakan pesawat Garuda di Don Muang Thailand, 1981.
Sekadar diketahui, yang dituduh membajak adalah apa yang oleh pihak militer saat itu sebagai Komando Jihad. Hebat benar teroris Muslim Indonesia pada 1981 sudah bisa membajak pesawat. Ini yang saya sebut cara murahan untuk menyematkan baju teroris pada Islam.
Contoh lainnya kasus peledakan BCA di Pecenongan, Jakarta Pusat, 1984,
yang menjadi tertuduh adalah AM Fatwa, mantan menteri perindustrian M Sanusi, dan HR Darsono. Menurut pengakuan pelaku peledakan, peledakan BCA disebutnya sebagai pelampiasan atas tragedi Tanjung Priok 1983 yang menewaskan ratusan, bahkan ada yang menyebut ribuan umat Islam.
Masih ingat pula peledakan Candi Borobudur 1985?
Yang dituduh sebagai pelaku peledakan, selain Komando Jihad, juga Husein Ali al-Habsyi, ulama tua yang (mohon maaf) matanya sudah tidak bisa melihat. Husein divonis seumur hidup. Nalar sehat mana yang bisa memercayai bahwa ulama buta dituduh terlibat peledakan Candi Borobudur. Modusnya nyaris tak berbeda jauh dengan "bom teroris" yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini.
Kedua,
nalar state yang menyebut teroris alumni Afghanistan, Poso, Moro, Alqaidah,
dan alumni HAMAS serta anggota ISIS.
Dengan nalar ini, seakan state ingin membangun perspektif bahwa teroris di Indonesia itu jihadis, sadis, berkemampuan merakit bom dari yang low sampai high explosive. Nalar ini juga tidak logis. Kalau teroris yang menyeramkan dan berasal dari alumni dengan beragam medan pertempuran ini benar adanya di Indonesia, maka tak perlu ada Aksi 411 dan Aksi 212.
Bukannya dua aksi tersebut merupakan bentuk lunak dari kemarahan umat Islam terhadap Ahok dan aparat hukum yang lembek dan lelet dalam memproses kasus penistaan Alquran yang dilakukan Ahok?
Kalau teroris jihadis itu ada,
maka Ahok, termasuk pejabat-pejabat yang diduga "melindungi" Ahok,
sudah lama "dilenyapkan".
Tentu—sebagaimana nalar state--bukan hal sulit bagi teroris jihadis untuk melakukannya.
Ahok juga tak akan mungkin punya keberanian kampanye ke mana-mana.
Pasti alumni itu akan menjadikan Ahok sebagai "target".
Percayalah,
sampai saat ini Indonesia masih menjadi negara paling toleran dan damai
daripada negara lainnya yang memiliki tingkat heterogenitas sama.
Karena itu, tidak perlu dikembangkan dan "dikampanyekan" Indonesia sebagai negara intoleran, yang tak menghargai kemajemukan.
Apalagi, kalau kampanye ini dilakukan sekadar untuk mendapatkan "proyek terorisme" ataupun menebar kebencian terhadap Islam.
Kalau niatnya hanya sebatas ini,
percayalah,
meski digelontorkan dana dengan jumlah tak terhingga,
pasti akan mengalami kegagalan.
Wamakaru wamakarallah,
Wallahu khairul makirin.
Wallahu a'lam.
Dr Ma'mun Murod Al-Barbasy
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
dan Wakil Ketua Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama (KAUB) MUI Pusat.
19 December 2016
.
Akhir-akhir ini
ada perspektif publik yang berubah dalam menyikapi terorisme.
Bila sebelumnya selalu mengamini setiap nalar yang dibangun state,
akhir-akhir ini publik mencoba menggugat nalar tersebut.
Gugatan publik sangat rasional.
Pertama,
anggaran pemberantasan teroris termasuk cukup besar.
Tahun 2014 saja sebesar Rp 44 triliun.
Pada APBNP 2016, Densus 88 mendapat tambahan dana Rp 1,9 triliun.
Kedua,
terlalu seringnya
kepolisian melanggar hak asasi manusia atas mereka yang diduga teroris.
Main tembak dan bunuh tanpa melalui proses mengadilan
seakan menjadi kelaziman dalam penanganan kasus atas terduga teroris.
Dari data yang sempat beredar di media,
sedikitnya ada 121 terduga teroris tewas tanpa lewat proses hukum.
Ketiga,
hampir setiap kasus "bom teroris" menyisakan kejanggalan
yang mengundang kritik atau setidaknya tanda tanya publik.
Misalnya, terlalu seringnya ditemukan kartu identitas, KTP, atau paspor.
Anehnya, selalu saja dalam KTP atau paspor itu tertulis beragama Islam.
Seolah ingin membangun nalar bahwa teroris pasti Muslim.
Modus ini tak hanya terjadi di Indonesia,
tapi juga dalam pemberantasan terorisme global.
Saat terjadi "bom Paris", ditemukan paspor yang masih dalam kondisi utuh
tanpa rusak sedikit pun.
Padahal, semua benda di sekelilingnya hancur dan hangus berantakan.
Secara nalar,
rasanya tak mungkin ada teroris jihadis yang mau identitasnya diketahui.
Dalam kasus "bom ricecooker" juga ditemukan KTP.
Janggalnya,
dalam KTP tersebut terlihat foto pelaku perempuan tak mengenakan jilbab.
Kalau pelakunya teroris jihadis,
rasanya tak mungkin mau membiarkan auratnya terbuka meski hanya di KTP.
Gugatan publik ini sebenarnya sudah mulai terasa saat mencuat kasus Siyono
yang meninggal secara tidak wajar di tangan Densus 88.
Kasus ini mendapat gugatan banyak pihak.
Muhammadiyah sampai menurunkan tim forensik mengusut kematian Siyono.
Hasilnya, kematian Siyono diyakini tidak wajar,
ditemukan banyak tanda kekerasan pada tubuhnya dari kepala hingga kaki.
Tim forensik tidak menemukan adanya perlawanan dari Siyono
seperti hasil pemeriksaan Densus 88.
Selain kejanggalan yang kerap terjadi,
juga patut dipertanyakan adalah nalar state dalam pemberantasan terorisme.
Ada dua nalar yang tak logis yang terus dikampanyekan ke masyarakat.
Pertama,
pelaku teroris adalah penganut radikalisme, fundamentalisme, dan ekstremisme.
Mereka hendak mengubah Indonesia menjadi negara Islam atau khilafah,
memandang demokrasi sebagai sistem kufur.
Mereka juga menyebut pemerintah sebagai tagut.
Kalau nalar yang dibangun demikian,
mestinya sasaran teroris adalah simbol-simbol state
dan perlawanannya bersifat vertikal, bukan horizontal.
Tapi, kita tengok, korban "bom teroris" selama ini sama sekali tak menggambarkan perlawanan vertikal, tak menggambarkan cara kerja teroris yang ingin mengubah Indonesia menjadi negara Islam, menganggap pemimpin sebagai tagut.
Sebab, yang menjadi sasaran adalah orang yang tengah rekreasi di Bali.
Masjid, mushala, gereja, hotel, dan mal menjadi sasaran.
Bahkan, belum lama ini anak-anak di Samarinda juga menjadi korban.
Kerja pelaku "bom teroris" ini tentu tak nyambung dengan nalar state
dan patut dipertanyakan.
Apakah benar kerja teroris jihadis itu menghendaki berdirinya negara Islam, menerapkan khilafah, menganggap pemerintah sebagai tagut.
Atau, ini sekadar propaganda murahan berkedok terorisme
dengan target menyudutkan Islam,
sebagaimana kerap dilakukan kalangan Islamofobia
yang bertebaran di mana-mana, termasuk di Istana, jajaran kepolisian, dan militer.
Kerja-kerja teroris model ini sebenarnya masih menggunakan model lama. Setidaknya ada dua model yang sama.
Pertama, dari sisi pelaku selalu disematkan kepada orang Islam atau kelompok yang identik dengan Islam.
Kedua, sasaran korban peledakan bom selalu ruang publik, bukan institusi vital milik negara.
Publik tentu ingat pembajakan pesawat Garuda di Don Muang Thailand, 1981.
Sekadar diketahui, yang dituduh membajak adalah apa yang oleh pihak militer saat itu sebagai Komando Jihad. Hebat benar teroris Muslim Indonesia pada 1981 sudah bisa membajak pesawat. Ini yang saya sebut cara murahan untuk menyematkan baju teroris pada Islam.
Contoh lainnya kasus peledakan BCA di Pecenongan, Jakarta Pusat, 1984,
yang menjadi tertuduh adalah AM Fatwa, mantan menteri perindustrian M Sanusi, dan HR Darsono. Menurut pengakuan pelaku peledakan, peledakan BCA disebutnya sebagai pelampiasan atas tragedi Tanjung Priok 1983 yang menewaskan ratusan, bahkan ada yang menyebut ribuan umat Islam.
Masih ingat pula peledakan Candi Borobudur 1985?
Yang dituduh sebagai pelaku peledakan, selain Komando Jihad, juga Husein Ali al-Habsyi, ulama tua yang (mohon maaf) matanya sudah tidak bisa melihat. Husein divonis seumur hidup. Nalar sehat mana yang bisa memercayai bahwa ulama buta dituduh terlibat peledakan Candi Borobudur. Modusnya nyaris tak berbeda jauh dengan "bom teroris" yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan ini.
Kedua,
nalar state yang menyebut teroris alumni Afghanistan, Poso, Moro, Alqaidah,
dan alumni HAMAS serta anggota ISIS.
Dengan nalar ini, seakan state ingin membangun perspektif bahwa teroris di Indonesia itu jihadis, sadis, berkemampuan merakit bom dari yang low sampai high explosive. Nalar ini juga tidak logis. Kalau teroris yang menyeramkan dan berasal dari alumni dengan beragam medan pertempuran ini benar adanya di Indonesia, maka tak perlu ada Aksi 411 dan Aksi 212.
Bukannya dua aksi tersebut merupakan bentuk lunak dari kemarahan umat Islam terhadap Ahok dan aparat hukum yang lembek dan lelet dalam memproses kasus penistaan Alquran yang dilakukan Ahok?
Kalau teroris jihadis itu ada,
maka Ahok, termasuk pejabat-pejabat yang diduga "melindungi" Ahok,
sudah lama "dilenyapkan".
Tentu—sebagaimana nalar state--bukan hal sulit bagi teroris jihadis untuk melakukannya.
Ahok juga tak akan mungkin punya keberanian kampanye ke mana-mana.
Pasti alumni itu akan menjadikan Ahok sebagai "target".
Percayalah,
sampai saat ini Indonesia masih menjadi negara paling toleran dan damai
daripada negara lainnya yang memiliki tingkat heterogenitas sama.
Karena itu, tidak perlu dikembangkan dan "dikampanyekan" Indonesia sebagai negara intoleran, yang tak menghargai kemajemukan.
Apalagi, kalau kampanye ini dilakukan sekadar untuk mendapatkan "proyek terorisme" ataupun menebar kebencian terhadap Islam.
Kalau niatnya hanya sebatas ini,
percayalah,
meski digelontorkan dana dengan jumlah tak terhingga,
pasti akan mengalami kegagalan.
Wamakaru wamakarallah,
Wallahu khairul makirin.
Wallahu a'lam.
Dr Ma'mun Murod Al-Barbasy
Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ
dan Wakil Ketua Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama (KAUB) MUI Pusat.