TRIBUNNEWS.COM - SUATU siang di sebuah hotel di Myanmar. Gelandang Timnas Indonesia Firman Utina tampak gusar. Ia lalu masuk ke kamar Bambang Pamungkas yang sedang bermain domino dengan Aliyudin, Charis Yulianto, dan Ismed Sofyan.
"Sialan, anak gue nggak mau ngomong sama gue sekarang."
"Loh kenapa Man?" sahut Ismed. "Iya katanya Papa tukang bohong. Katanya besok mau pulang tapi kok ngak pulang-pulang. Mau nangis gue dengernya," jawab Firman dengan suara parau, yang bersama rekannya sudah cukup lama meninggalkan keluarga demi membela Tim Merah Putih.
Bambang pun sering merasakan pengalaman bagaimana kerinduan anaknya akan kehadiran dirinya di tengah keluarga kecilnya yang sering ditinggalkan demi timnas.
Suatu saat, ketika baru pulang dari lawatan bersama timnas selama dua minggu di Oman, ia hanya diberi waktu 24 jam untuk bertemu keluarga karena lima hari kemudian akan melawan Australia di Jakarta.
Setelah berkumpul bersama keluarga di rumahnya selama 24 jam, Bambang kemudian harus kembali ke Hotel Sultan, yang menjadi homebase timnas. Sampai di hotel, Bambang lalu turun dan pamitan kepada anak-istrinya.
Apa yang terjadi? Anak terkecil Bambang, Syaura, terus menangis, tanda tak mau berpisah. Bambang merasakan emosi yang luar biasa. Tanpa disadari, matanya berkaca-kaca sambil memeluk anaknya.
Pengalaman mengharukan Firman dan Bepe --panggilan Bambang-- itu diceritakan sang kapten dalam bukunya berjudul "BEPE20 Ketika Jemariku Menari". Itulah pengorbanan seorang pemain timnas yang selama ini mungkin tidak tak terlintas di benak masyarakat.
Nah ketika Pelatih Timnas Wim Rijsbergen menjadikan pemain sebagai kambing hitam atas kekalahan dari Bahrain, emosi pemain pun meledak. Bak bola api yang disiram bensin seketika menyalak.
Wim tak hanya menyebut pemain timnas belum layak di level internasional dalam jumpa pers usai pertandingan, tapi juga mengeluarkan kata-kata kasar di hadapan Firman Utina dkk.
Seperti penuturan mantan arsitek timnas Alfred Riedl dalam wawancara dengan Goal.com, beberapa pemain menyatakan kepada Riedl bahwa saat jeda di ruang ganti, saat itu timnas tertinggal 0-1, Wim pernah menghardik pemain dengan keras. "F**k you all. Jika kalian tak bisa bermain lebih baik di babak kedua, saya akan tendang kamu."
Dari sinilah kekesalan pemain memuncak. "Kata-kata dia terlalu kasar." Begitu kata kiper Ferry Rotinsulu, yang langsung menyatakan menolak memperkuat timnas bila masih dilatih Wim.
Komentar sembrono Wim kepada media dan kata-kata kasarnya di hadapan pemain seolah tak menghargai pengorbanan pemain --walaupun hasilnya tak maksimal.
Bagaimanapun pemain telah berkorban banyak, tenaga, pikiran, dan emosi. Mereka telah meninggalkan keluarga kurang lebih sebulan untuk mengikuti pelatnas, berlatih di tengah bulan puasa, berlebaran di negeri orang karena harus bertanding melawan Iran, belum sempat istirahat --gara-gara manajemen timnas yang telat memulangkan pemain dari Iran, mereka sudah harus bertanding lagi melawan Bahrain.
Di saat pemain butuh "perlindungan" di tengah fisik yang terkuras dan mental yang sudah terpuruk, Wim justru menjadikan mereka sebagai pelampiasan kegagalan. Bukannya memberi semangat untuk bangkit. Alhasil Firman pun menyebut timnas saat ini seperti anak ayam kehilangan induk.
Kondisi ini diperparah oleh pernyataan anggota komite eksekutif PSSI bidang timnas Bob Hyppi yang jauh dari menyejukkan. Bob menyebut Firman dkk sudah habis, tidak bisa berprestasi lagi, dan tidak profesional.
Vonis yang makin memanaskan suasana. Pasukan Garuda pun retak. Setidaknya sudah ada tujuh pemain yang menolak ke timnas karena merasa kerja keras mereka tak dihargai.
Masalah ini harus segera diatasi PSSI sebelum kondisinya makin parah. PSSI harus berani mengevaluasi Wim. Sementara pemain diajak bicara dari hati ke hati untuk kembali membangkitkan semangat juang mereka. Pelatih harus menghargai pemain, sebaliknya pemain juga respek pada pelatih.
Ingat, saat ini perjuangan timnas untuk lolos ke putaran keempat kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia makin berat. Empat laga sisa harus dimenangkan.
Karena itu timnas harus tetap solid. Dan bila memang PSSI masih tetap ingin mempertahankan Wim, pelatih asal Belanda ini wajib bersikap lebih arif. Tentunya juga menyiapkan taktik dan strategi yang lebih baik untuk meraih hasil terbaik.
Bagaimana meneer Wim?
kalau kita harus bertanya, kalau Alfred Riedl itu karena diperkarakan masalah manajemen administrasi kenapa tidak diajak untuk men-sinergi membangun timnas? toh itu cuma masalah hitam diatas putih. Masyarakat butuh tidak cuma hiburan tapi sebuah kebanggaan sebagai sebuah bangsa yang tengah hiruk pikuk memanipulasi administrasi untuk memperkaya diri. Sebaiknya kita tidak selalu menutupi sebuah logika sederhana dengan menampilkan hal-hal yang "kelihatan rumit". Maju terus TIMNAS Indonesia, kita tetap mendukung apa pun yang terjadi. Maju terus PSSI berpikirlah untuk Indonesia, ora sak karepmu dewe.